Blog

Kalibrasi Ulang Strategi Transformasi Digital di Masa dan Pasca Pandemi, Lima Prioritas Jadi Kunci Kesinambungan Bisnis

Jum 02 Oktober 2020, Erik Meijer
Five Priorities for Business Continuity Amidst a Pandemic

Mau tidak mau, dan siap tidak siap, turbulensi pandemi COVID-19 telah mengubah landskap bisnis secara global dengan perhatian khusus bagi korporasi adalah cara untuk mempertahankan kesinambungan bisnis. Turbulensi yang disebabkan pembatasan aktivitas bisnis secara masif, dinamika perdagangan yang makin menantang, hingga volatilitas pasar yang belum tak menentu, telah mendorong korporasi makin responsif dan adaptif.

Sekali lagi, pandemi COVID-19 telah menunjukkan bagaimana korporasi membutuhkan teknologi adaptif dan alat kolaborasi yang aman untuk memastikan konektivitas tanpa kendala, terutama dalam menghadapi turbulensi.

Insight tersebut tergambar dalam riset bertajuk Business Continuity, Flexible Working and Adaptive Infrastructure: Five Actions for When the Economy Reopens Following COVID-19” yang diprakarsai oleh Telstra, perusahaan telekomunikasi dan teknologi terkemuka dan salah satu perusahaan induk dari Telkomtelstra. Hasil penelitian Telstra dan GlobalData memperlihatkan sebanyak 93% korporasi di Asia Pasifik, Eropa, dan Amerika Serikat telah mengubah prioritas TI baik secara bertahap, signifikan, atau dramatis.

Penelitian ini mengumpulkan data dari 120+ pemimpin bisnis di Asia Pasifik, Eropa, dan Amerika Serikat untuk memberikan wawasan tentang upaya mengkalibrasi ulang strategi TI. Penelitian yang dilakukan Telstra dengan GlobalData ini mensurvei jajaran petinggi korporasi (C-suites) dan pembuat keputusan TI untuk memahami tanggapan organisasi terhadap pandemi.

Key Business Priorities and Obstacles to Remote Working
Key Business Priorities and Obstacles to Remote Working

Hasil penelitian tersebut menunjukkan korporasi sedang memperbarui strategi TI secara keseluruhan, dengan prioritas utama di semua wilayah adalah membuat kebijakan untuk tenaga kerja secara jarak jauh (remote). Ini termasuk berbagai inisiatif seperti memastikan karyawan dapat terhubung dengan aman saat mengakses aplikasi dan data.

Dalam kondisi pra-COVID-19, penelitian tersebut juga mengungkap temuan bahwa hampir satu dari sepuluh perusahaan tidak memiliki Rencana Kesinambungan Bisnis (Business Continuity Plan/ BCP). Sementara organisasi-organisasi yang memiliki BCP, hampir sepertiga (29%) tidak memiliki rencana untuk menanggapi peristiwa global yang tidak terduga, seperti pandemi. Di Asia Tenggara, Australia, dan Selandia Baru (SEA dan ANZ), hanya 22% korporasi yang mengaku memiliki BCP lengkap serta menunjukkan kesiapan untuk menghadapi tantangan seperti pandemi yang sedang terjadi saat ini.

Business Continuity Planning
Business Continuity Planning

Hasil penelitian juga menunjukkan perlunya bisnis untuk tidak hanya secara signifikan memperluas ruang lingkup BCP, tetapi mengidentifikasi lebih banyak kerentanan dan mempertimbangkan strategi baru untuk mengendalikan risiko yang dapat timbul.

Teknologi Paling Transformatif

Solusi konferensi video dan pusat kontak berbasis cloud (cloud contact center) menjadi beberapa teknologi paling transformatif bagi perusahaan. Sebanyak 98% responden meyakini akan ada peningkatan ketergantungan pada konferensi video untuk menggantikan pertemuan tatap muka pasca pemulihan COVID-19. Meskipun teknologi konferensi video bukan sesuatu yang baru, terjadi perubahan persepsi dalam penggunaan video sebagai medium untuk berkolaborasi  dari era sebelum dan sesudah COVID-19.

When Engaging Service Provider & After COVID-19
When Engaging Service Provider & After COVID-19

Di sisi lain, organisasi sedang meninjau pendekatan baru untuk keterlibatan pelanggan (customer engagement). Hampir setengah dari responden sekarang mengadopsi strategi pusat kontak cloud (cloud contact center) untuk meningkatkan kemampuan end to end guna menambah kecepatan dan kelincahan saat melayani pelanggan. Kawasan Asia Utara menunjukkan sentimen tertinggi untuk hal ini sebesar 57%, diikuti oleh Asia Tenggara dan Australia-New Zealand di level 52%.

Jaringan juga akan memainkan peran yang lebih penting dalam menghubungkan pekerja secara jarak jauh. Menurut hasil survei, delapan dari sepuluh bisnis memiliki persentase karyawan yang tidak dapat bekerja karena tantangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Karena itu, salah satu prioritas utama TIK saat ini adalah mendukung tenaga kerja secara jarak jauh. Sentimen ini sangat kuat disuarakan oleh responden dari Eropa, Asia Tenggara, dan Australia-Selandia Baru. Pasca COVID-19, kebutuhan jaringan lebih ditentukan dari sisi software-defined, cloud-ready, lebih otomatis dan fleksibel.

Sebanyak 77% responden di Singapura, Malaysia, Filipina, Australia dan Selandia Baru menetapkan ketangguhan TIK dan keamanan untuk tujuan kelangsungan bisnis sebagai prioritas bisnis utama. Untuk itu, mereka gencar berinvestasi dalam alat Unified Communications and Collaboration, termasuk konferensi video untuk pekerjaan jarak jauh, mempercepat adopsi cloud, dan melihat solusi TIK berbasis peran yang menggabungkan otomatisasi dan digital tools. Sebanyak 84% pemimpin bisnis di kawasan tersebut melihat ini sebagai prioritas tertinggi, melampaui rata-rata global 74%.

Lantas, apa saja prioritas yang perlu dicermati organisasi untuk menjaga kesinambungan bisnis di masa dan pasca pandemic COVID-19, terutama dari sisi teknologi TI? Berikut ini lima prioritas utama yang dapat diadopsi.

Lima Prioritas di Masa dan Paska-Pandemi

1. Kembangkan Rencana Kesinambungan Bisnis yang Lebih Baik

Rencana Kesinambungan Bisnis (Business Continuity Plan/BCP) yang baik harus menjadi inisiatif korporasi dalam membuat atau memperbarui kebijakan, dengan mengidentifikasi potensi ancaman, ketika menghadapi tantangan besar seperti pandemi COVID-19. Tahap selanjutnya, mendefinisikan strategi pemulihan yang memprioritaskan ketahanan bisnis dan meminimalkan downtime. Setiap potensi kerentanan dan ancaman dipetakan untuk membuat profil risiko. BCP kemudian dapat bekerja secara efektif untuk menciptakan sistem pencegahan dan pemulihan.

2. Kebutuhan Kolaborasi Digital Tools untuk Bekerja Jarak Jauh

Pandemi COVID-19 telah mengubah perilaku dan proses kerja secara signifikan. Saat bisnis memindahkan lebih banyak beban kerja ke cloud, fungsi penggunaan banyak peralatan dan perangkat fisik menjadi kurang relevan.

Sebaliknya, digital tools semakin berperan  sebagai platform yang digunakan untuk bekerja dan  melakukan kolaborasi. Dalam kolaborasi ini, perlu adanya keseimbangan antara pengalaman pengguna akhir (misalnya akses terhadap konten, dari perangkat apa pun, di lokasi mana pun) serta fleksibilitas jaringan, keamanan siber, tata kelola TI, serta peraturan dan kepatuhan.

Beberapa organisasi di Indonesia menggunakan teknologi kolaboratif secara efektif, untuk memberdayakan diri mereka sendiri dalam bulan-bulan pembatasan sosial berskala besar selama pandemi (dikenal secara lokal sebagai “PSBB”). Saat PSBB pertama kali diumumkan, organisasi dengan cepat melakukan implementasi atau berpindah mke teknologi kolaboratif terdepan, seperti Microsoft 365, untuk menghubungkan semua karyawan dan kontraktor yang harus bekerja dari rumah. Teknologi ini juga mendukung mereka untuk membuat alur kerja dengan cepat untuk membagikan dan mengedit dokumen kerja beserta mendapatkan persetujuan, mendukung kolaborasi dan pengambilan keputusan yang cepat.

3. Kolaborasi yang Aman

Selama COVID-19, beberapa platform Unified Communications and Collaboration (UC&C) termasuk cloud contact center menjadi kapabilitas paling penting untuk menjaga kontinuitas bisnis. Tidak hanya penting bagi karyawan untuk melakukan kolaborasi pekerjaan dengan aman, tetapi untuk berkomunikasi secara virtual dan bekerja bersama di lebih banyak lokasi.

Dalam beberapa bulan terakhir, organisasi dan korporasi telah berinvestasi secara signifikan dalam UC&C. Berbagai vendor global melaporkan pertumbuhan tinggi untuk penggunaan teknologi UC&C.

Hasil riset Telstra mengungkapkan tinggunya jumlah responden yang mengadopsi strategi cloud contact center dengan kapabilitas end to end (misalnya Auto Call Distributor (ACD), Interactive Voice Response (IVR), alur kerja optimasi) untuk kecepatan dan kelincahan. Persentase tertinggi terjadi di Asia Utara sebesar 57%, diikuti oleh Asia Tenggara, Australia, dan Selandia Baru sebesar 52%. Kemudian, Amerika Serikat yaitu 40%, dan disusul Eropa 47%.

Sedangkan di Indonesia, beberapa perusahaan dan lembaga juga telah mengubah cara pelayanan ke pelanggan, termasuk call center, disaat pandemi sehingga pekerjaan bisa dilakukan dari rumah, untuk menjamin kesehatan dan keselamatan para pekerjanya. Solusi UC & C dengan teknologi cloud seperti Cloud Contact Center memungkinkan agen untuk terus menjalankan layanan call center secara optimal dalam skenario work-from-home (WfH) selama pandemi COVID-19. Telkomtelstra sebagai penyedia Cloud Contact di Indonesia telah bekerja sama dengan berbagai pelanggan untuk mereview alur kerja guna memastikan respon yang tepat dan implementasi pengaturan kerja dapat berjalan optimal bahkan di tengah gangguan eksternal dalam operasional call center melalui solusi Cloud Contact Center.

4. Cloud Jadi Pilihan Utama

Pandemi COVID-19 juga membuat opsi migrasi ke cloud menjadi kebutuhan yang tidak dapat dihindari oleh organisasi. Hasil penelitian Telstra mengungkap sekitar 93% responden mempercepat adopsi layanan cloud. Responden di Eropa dan Asia Utara melaporkan sentimen tertinggi di seluruh wilayah, dengan hampir semua responden (97 persen) melihat cloud sebagai satu-satunya pilihan.

Saat bisnis memperbarui BCP, prioritas utama adalah untuk mengefisienkan waktu kerja dan keamanan data melalui strategi multi-cloud. Sebanyak 67 persen dari responden lebih mementingkan kesinambungan bisnis untuk mendukung kerja jarak jauh.

Berdasarkan survei IDC Indonesia, mayoritas organisasi di Indonesia sudah mulai menggunakan dan mengadopsi aplikasi berbasis cloud dalam proses bisnisnya. Meningkatnya kebutuhan aplikasi kolaborasi dan aplikasi bisnis, serta meningkatnya kebutuhan penyimpanan dan server, telah menjadi kunci untuk mendukung bisnis selama masa pandemi yang menantang ini. Cloud pribadi yang dihosting  diperkirakan tumbuh 23% dalam waktu dekat karena organisasi tertentu di Indonesia tetap bergantung pada beban kerja di lokasi dan fokus untuk mendorong lingkungan hybrid secara internal. Implementasi Cloud sendiri dilihat akan menjadi “bisnis seperti biasa” di masa mendatang. Banyak perusahaan telah mulai memanfaatkan ekosistem hybrid untuk menggabungkan tata kelola, lokalisasi, dan residensi data yang diperlukan dengan langkah kuat menuju solusi berbasis cloud yang dapat memberikan fleksibilitas, kelincahan, dan efisiensi bagi perusahaan.

5. Prioritaskan Jaringan Adaptif

Perubahan cara kerja jarak jauh ikut mengubah prioritas kebutuhan TI organisasi. Kualitas layanan, akses dan kontrol, serta keamanan menjadi tantangan ketika kebanyakan pegawai tidak lagi secara terpusat beraktifitas di kantor, tetapi bekerja dari rumah ataupun lokasi remote  lainnya. Ini berarti perusahaan perlu infrastruktur yang adaptif untuk mengatasi tantangan terkait dengan karyawan yang membawa perangkat mereka sendiri dan mengakses data dan aplikasi perusahaan dari rumah.

Untuk mengatasi hal ini, organisasi melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kinerja secara keseluruhan dan keamanan di jaringan inti. Akan tetapi, tantangan tersebut tidak hanya selalu terkait dengan seberapa baik jaringan dirancang, tetapi juga seberapa baik jaringan dapat terkoneksi dan saling berhubungan untuk menghasilkan layanan terbaik dalam mengakomodir kebutuhan kolaborasi bekerja secara remote. Teknologi jaringan terdepan dengan kapabilitas terbaik seperti SD-WAN tentunya dapat mendukung kinerja yang diharapkan dan pengalaman pengguna.

COVID-19 mendorong organisasi untuk mengadopsi solusi SD-WAN karena kebutuhan akan penghematan biaya meningkat, tapi disaat bersamaan dituntut untuk tetap mempertahankan (atau lebih tepatnya meningkatkan) kesederhanaan operasional, kelincahan, dan terutama keamanan untuk jaringan cabangnya. SD-WAN saat ini sangat diminati, mengingat sistem dan aplikasi bisnis untuk sistem kerja jarak jauh memerlukan tambahan fleksibilitas dan dukungan ketahanan jaringan yang baik, terutama pada saat peak time (kapasitas puncak). GlobalData memperkirakan pasar SD-WAN di Indonesia akan tumbuh dengan CAGR 16,74% menjadi $ 21 juta tahun ini dan $ 39 juta pada tahun 2024. Di Indonesia, VPN (Virtual Private Networks) tidak dirancang untuk ‘kapasitas puncak’ di dalam aktifitas jaringan secara signifikan. SD-WAN memungkinkan perusahaan memiliki skalabilitas, terutama selama periode peak time di jaringan ketika sebagian besar karyawan bekerja secara remote dari rumah. Terbukti, jika sebuah perusahaan hanya mengandalkan server VPN lokal, akan berakibat pada peningkatan beban kerja di jaringan yang sangat besar. Tentunya hal ini akan menyebabkan jaringan menjadi lambat dan kurang optimal yang kemudian mempengaruhi kinerja karyawan dan produktivitas bisnis, terlebih lagi pada video conference dan platform kolaborasi video berbasis cloud yang membutuhkan jaringan dan kapasitas yang besar untuk menjangkau puluhan orang di saat yang bersamaan. (*)